Kamis, 28 Februari 2013

Manifestasi Klinis Difteri

Manifestasi dari difteri tergantung dari berbagai factor sehingga bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. 
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksik difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Factor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien yang pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.

Difteria Hidung
Difterian hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau dengan disertai gejala sistemik ringan. Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

Difteria Tonsil Faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yag melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian, bisa terjadi dalam waktu 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.


Difteria Laring
Biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria faring primer, gejala toksik kurang nyata oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi perlepaan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.


Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau.


Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody tecnique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmut) dan in-vitro (tes Elek). 1
Kultur bakteriologik penting dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis difteri.
  • Dilakukan pada seluruh pasien suspek difteria dan mereka yang beresiko untuk berkontak dengan pasien difteria. Spesimen diambil dari hidung dan tenggorokan (swab nasofaring dan faring).
  • Pengambilan spesimen untuk kultur sebaiknya secepatnya ketika difteria (pada lokasi mana saja) telah dicurigai ada, walaupun antibiotik telah diberikan dalam dosis inisial.
  • Pengambilan spesimen dari membran memberikan hasil yang sama baiknya dari hidung dan tenggorokan. Jika bisa, swab sebaiknya juga diambil dari balik membran.
  • Peringatkan laboratorium pada kecurigaan adanya difteria karena isolasi C. diphtheriae membutuhkan media kultur khusus termasuk tellurite. C. diphtheria dapat tumbuh pada berbagai selektif media, termasuk agar telurite atau khususnya media Loeffle, Hoyle, Mueller, dan Tinsdale.
  • Isolasi C. diphtheriae pada orang yang cenderung berkontak dengan pasien difteri dapat mengkonfirmasi diagnosis, walaupun jika hasil kulturnya negatif.
  • Setelah C. diphtheriae diisolasi, ditentukan juga biotipenya: gravis, mitis, atau intermedius (substrain).
Tes toksigenisitas juga dilakukan.
  •  Menggunakan tes Elek untuk menentukan C. diphtheriae yang diisolasi memproduksi toksin.
  • Tes toksigenitas jarang tersedia di laboratorium mikrobiologi klini yang ada; bahan dikirim ke laboratorium tertentu yang menyediakan tes tersebut dan mempunyai ahli laboratorium yang dapat mengerjakan tes tersebut dengan baik.
  • Pengukuran kadar serum antibody pasien terhadap toksin difteria perlu dilakukan sebelum pemberian antitoksin untuk menilai kemungkinan diagnosis difteria.
  • Jika kadar antibodinya rendah, diagnosis difteria tidak dapat ditegakkan, tapi jika kadarnya tinggi, C. diphtheria kemungkinan telah menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan sakit yang berat.
Tes lain
·      Tes PCR dapat mendeteksi organisme C. diphtheriae nonviable. Spesimennya diambil setelah pemberian terapi antibiotik inisial.
·        Saat ini, diagnosis kemungkinan difteria harus diklasifikasikan pada pasien dengan hasil tes PCR positif tapi pada organisme yang tidak diisolasi, diagnosis histopatologi tidak dibuat, dan tidak ada kaitan epidemiologi yang dapat dibuat pada pasien dengan laboratorium yang mengkonfirmasi difteria.
·        PCR assay juga mendeteksi gen toksin difteria. 2


Diagnosis Banding
Difteria Hidung. Penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).
Difteria Faring. Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokkus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
Difteria Laring.  Gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria Kulit. Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokkus atau stafilokokkus.

Etiologi Hemaptoe

Etiologi Hemaptoe

Hemaptoe atau hemoptisis adalah ekspektorasi dari darah atau sputum berdarah yang berasal dari paru atau trakheobronkial. Hemaptoe ini sering diragukan dengan perdarahan dari mulut, kerongkongan, nasofaring dan saluran cerna. 


Hemoptisis sering berasal dari bronkitis kronik, kanker paru ataupun bronkiektasis. Juga dapat diakibatkan oleh inflamasi, infeksi, penyakit kardiovaskular, gangguan koagulasi darah dan penyebab lain yang jarang, seperti ruptur aneurisma aorta. Sekitar 15% dari penyebab hemaptoe tidak diketahui.


Penyebab hemoptisis masif yaitu: kanker paru, bronkiektasis, TB paru aktif ataupun cavitas paru. 




  • Bronkiektasis: hemoptisis yang terjadi dapat bervariasi, dari sputum bercampur darah hingga pengeluaran darah segar. Pasien biasanya mempunyai batuk kronik yang menghasilkan sputum (Khasnya berupa three layers sputum), sputum kental dan berbau. Pada pasien juga akan ditemui ronkhi, demam, penurunan berat badan , fatiq, malaise dan dispnue.
  • TB pulmonal: batuk dahak berdarah sering terjadi pada penyakit ini, dan hemoptisis masif dapat terjadi pada TB paru lanjut. Temuan pada sistim pernafasan berupa batuk kronik, dispnoe, pekak pada perkusi, peningkatan fremitus, dan dapat ditemukan suaran nafas amforik. Juga dapat ditemukan keringat malam, malaise, fatiq, demam, anoreksia, penurunan berat badan dan nyeri dada pleuritis.
  • Bronkitis kronik: gejala utamanya berupa batuk produktif selama minimal 3 bulan. Sering kali hal ini menyebabkan bercak darah pada sputum, sedangkan hemoragik masif jarang terjadi. Gejala lain yang dapat timbul berupa dispnoe, ekspirasi yang memanjang, wheezing, penggunaan otot nafas tambahan, barrel chest dan takipnoe.
  • Ca laring: hemaptoe terjadi pada kanker ini, tetapi yang menjadi gejala utamanya adalah suara serak. Temuan lain yang bisa didapatkan adalah disfagi, dispnoe, stridor, limfadenopati servikal dan nyeri pada leher.
  • Ca paru: ulserasi dari bronkus mengakibatkan hemoptisis sebagai gejala awal dari ca paru. Setelah itu, sebagai gejala lanjutan dapat ditemui adanya batuk produktif, dispnoe, anorexia, penurunan berat badan, wheezing dan nyeri di dada.
  • Pneumonia: pada pneumonia pneumococcus dapat ditemukan pinkish/rusty sputum, sedangkan pada pneumonia klebsiella dapat ditemukan dark-brown atau red currant-jelly sputum
  • Abses paru: 50% penderita abses paru menghasilkan sputum berdarah akibat ulserasi dari bronkus, nekrosis dan jaringan granulasi. Temuan lain yang bisa didapatkan seperti batuk produktif dengan sputum purulen yang berbau, demam menggigil, anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala, dispnoe dan nyeri dada yang sifatnya tumpul.
  • Bronkial adenoma: hemoptisis dapat terjadi pada 30% pasien, disertai dengan batuk kronik dan wheezing lokal
  • Ruptur aneurisma aorta: jarang terjadi, akibat ruptur dari aneurisma aorta ke dalam saluran trakeobronkial, yang dapat mengakibatkan hemaptoe dan kematian mendadak.
  • Udem pulmonal: udem paru kardiogenik ataupun non kardiogenik dapat mengakibatkan produksi sputum berdarah yang juga disertai dengan dispnoe, orthopnoe, anxietas, sianosis, ronkhi difus, gallop dan demam. Juga dapat terjadi takikardi, lethargi, aritmia, takipnoe dan hipotensi.
  • Hipertensi pulmonal: hemoptisis, dispnoe saat exercise, dan fatiq terjadi secara lambat pada pasien dengan hipertensi pulmonal. Juga terdapat nyeri dada seperti pada angina pada saat exercise, nyeri dada dapat menjalar ke leher tetapi tidak ada penjalaran ke lengan.
  • Gangguan pembekuan darah: seperti trombositopeni dan DIC. Selain hemaptoe, pada penyakit seperti ini juga akan didapatkan perdarahan multisistim dan purpura pada kulit.
  • Kontusio pulmonal: terjadi akibat trauma tumpul thoraks
  • Penyebab lain: SLE, trauma akibat tindakan diagnostik (bronkoskopi, laringoskopi, biopsi paru)